Dulu, pulang ke rumah hanya sebuah rutinitas.
Dari kecil hingga kuliah saya jalani di Semarang, di rumah saya.
Ketika suatu waktu saya memutuskan untuk bekerja di Jakarta,
saya baru tahu betapa berharganya "pulang ke rumah" itu.
Saya meninggalkan rumah hampir 2 tahun yang lalu, pulang ke Semarang hanya beberapa bulan sekali.
Saya masih ingat saya mencium tanganya Februari yang lalu, beliau masih tampak sehat.
Walapun saat itu saya tahu beliau sudah kesulitan berjalan, bahkan sering jatuh.
Sudah lama beliau juga pikun, suka menanyakan hal yang pernah dia tanyakan, berulangkali.
Bapak.
Dua bulan kemudian saya pulang kembali, tapi semua sudah tak sama lagi.
Bapak sudah tergolek di tempat tidur tak berdaya.
Beliau sudah tidak bisa berjalan, bahkan duduk, bicaranya juga sudah mulai mengigau.
Sempat beliau tidak mengenali saya.
Ya beliau ga mengenali saya..
"Kamu siapa?" kata Bapak saat saya menyapanya pagi itu.
Saya hanya bisa menangis, saya mungkin anak durhaka, pantas saja bapak melupakan saya.
Menyesal adalah hal yang sampai sekarang saya rasakan.
Ketika saya beranjak dewasa, saya dan bapak sudah tidak dekat.
Bapak saya pemarah sekali, terkadang kasar.
Saya pun mulai menjauh, terkadang hanya ada percakapan singkat.
Saya menyesal mengapa saat kemarin saya pulang saya tidak membantunya berjalan.
Padahal saya tahu Bapak ingin sekali berjalan.
Mengapa kemarin saya tidak berbincang lama dengan Bapak, ketika beliau masih mengerti yang saya ucapkan.
Padahal seharusnya saya bisa memaklumi, semua tindakan Bapak dilakukan karena beliau sedang sakit.
Sakit 20 tahun yang lalu, dan sampai sekarang masih hidup, itulah Mukjizat.
Tapi mengapa saya baru menyadarinya sekarang, ketika semuanya sudah terlambat.
Maafkan saya Bapak.
Bapak semakin lama semakin kehilangan kemampuan motorik dan mengingatnya.
Bulan April itu, Beliau ternyata masih mengingat saya.
Bulan Mei dan Juni saya masih sering mengunjungi Beliau.
Beliau masih bisa diajak berbicara, walaupun ingatannya hanya terpaku pada masa lalunya ketika masih muda.
Tapi Puji Tuhan, beliau masi ingat siapa anak-anaknya, masih mengingat beliau Katholik.
Masih mengingat doa Salam Maria dan Bapa Kami. Saat itu.
Semakin kemari, Bapak sudah tidak bisa seperti itu lagi.
Beliau hanya mengingau setiap waktu, berbicara sendiri. Susah tidur. Terkadang tidur sebentar, lalu terbangun dan mengigau lagi.
Katanya, beliau takut bila tidur.
Rumah.
Saat ini itulah tempat yang paling saya rindukan di dunia ini.
Saya usahakan setiap 2 minggu sekali saya pulang.
Jakarta - Semarang, jarak yang cukup jauh dan melelahkan. butuh biaya yang juga tidak sedikit.
Tapi demi Bapak tidak melupakan saya lagi,
demi bertemu Bapak, dan tentu saja bertemu Ibu yang setia merawat bapak, saya akan selalu kembali ke rumah.
Ke tempat di mana saya mendapatkan cinta kasih yang tulus, satu-satunya tempat dimana saya merasa disayangi.
Asalkan bisa melihat senyum Bapak, saya akan selalu.....pulang.
Percakan Senja :Nia (Panggilan saya di rumah) : Bapak, iki sopo jal? (Bapak, ini siapa hayo?)Bapak : Nia...Nia : Nia iku anake sopo? (Nia itu anaknya siapa Pak?)Bapak : Anake Pak Sugeng (Anaknya Pak Sugeng)
Puji Tuhan :)
0 komentar:
Posting Komentar